Monday 4 November 2013

Pandangan Para Ulama Tentang Isbal (menjulurkan kain/celana/gamis/melewati mata kaki) 1

Pandangan Para Ulama Tentang Isbal (menjulurkan kain/celana/gamis/melewati mata kaki) 1


Oleh: Farid Nu’man Hasan

(Pertanyaan tentang hukum Isbal cukup banyak masuk ke kami maka diharapkan tulisan ini mewakili semuanya)

Mukaddimah

Seiring dengan arus kebangkitan Islam, maka kesadaran untuk berislam secara kaffah menjadi hal yang niscaya, baik oleh muslim dan muslimah. Semangat mengamalkan sunah nabi adalah bagian dari cakupan kekaffahan pemahaman Islam seseorang. Termasuk keinginan sebagian pemuda dakwah memendekkan pakaian di atas mata kaki bahkan setengah betis. Tentu tidak lupa juga memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, serta menutup aurat secara sempurna bagi para muslimahnya.

Fenomena ini harus disambut gembira dan diberikan dukungan, sebagai pengimbang atas betapa kuatnya dukungan terhadap kejahiliyahan akhlak pada zaman ini. Selain memang itu sebagai syi’ar Islam. Namun, di tengah arus kebangkitan Islam, bukan bebarti tanpa masalah internal. Sering kita melihat sesama aktifis Islam saling serang hanya karena perselisihan pemahaman fiqih semata, termasuk isbal (pelakunya disebut musbil) ini. Biasanya sikap keras dilancarkan oleh pihak yang memahami bahwa isbal itu haram walaupun tanpa rasa sombong. Sementara pihak yang diserang pun tentunya memberikan pembelaan dengan berbagai hujjah yang mereka miliki. Akhirnya, bukan masalah ini saja dan ini bukan yang terakhir, para aktifis Islam berputar-putar pada masalah yang memang sejak lama para ulama berselisih, mereka hanyalah melakukan siaran ulang saja. Sementara, banyak amal-amal pokok dan produktif menjadi tertinggal.

Seharusnya tidak boleh ada sikap keras dalam masalah isbal ini, dan seharusnya mereka tahu adanya perselisihan yang masyhur sejak dahulu. Namun bagi yang ingin menghindar isbal, semoga Allah memberikan pahala atasnya sebagai upaya menghidupkan sunah.

Sebagian hadits-hadits Tentang Larangan Isbal

Hadits 1:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari No. 5787, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal No. 41158)

Hadits 2:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.” (HR. Bukhari No. 5788. Muslim No. 2087)

Hadits 3:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِي يَجُرُّ ثِيَابَةُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim No. 2085. Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)

Hadits 4:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dari Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)

Hadits 5:

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

Dari Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. Bukhari No. 3665, An Nasa’i No. 5335, Ahmad No. 5351)

Hadits 6:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: “Wahai Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau bersabda lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana batasan?” Beliau bersabda: “Setengah betis.” (HR. Muslim No. 2086, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3134)

Hadits 7:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ الْإِزَارِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاقِ وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ

Dari Hudzaifah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tempatnya Izar (kain sarung) adalah sampai setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki.” (HR. At Tirmidzi No. 1783. Katanya: hasan shahih, An Nasa’i No. 5329, Ibnu Majah No. 3572)

Dan masih banyak hadits shahih yang semisal ini.

Perkataan Para Ulama

Para ulama terbagi menjadi tiga kelompok dalam memaknai hadits-hadits di atas. Ada yang mengharamkan isbal secara mutlak, baik dengan sombong atau tidak. Ada yang memakruhkan. Ada pula yang membolehkan jika tanpa kesombongan. Ada pun jika dengan sombong, semua mengharamkan tanpa perbedaan pendapat.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid Rahimahullah:

وجمهور العلماء من المذاهب الأربعة على عدم التحريم

“Dan Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya.”

A. Kelompok yang membolehkan

Kelompok ini mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid¬-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya) .
Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu

Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:

قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ

“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)

Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:

وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ

Dalam satu riwayat Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad) rahimahumullah.” (Ibid)

Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)

Sementara dalam Kasysyaf Al Qina’ disebutkan:

قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ .

“Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, 2/ 304. Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul ‘Ashimah, Riyadh. KSA. )

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:

وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا

“Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.” (Ibid)

Beliau berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:

فأما أن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره

Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361)

Imam Syarfuddin Musa Al Hijawi Rahimahullah

Beliau ulama bermadzhab Hambali, berkata dalam kitab Al Iqna’:

فَإِنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ أُبِيحَ

“Maka, sesungguhnya menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan seperti menutupi betis yang buruk, tanpa adanya sombong, maka itu mubah (boleh).” (Al Iqna’ fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hambal, 1/91. Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon)

Imam Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah

Beliau ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib. Berkata Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya terhadap Kifayatuth Thalib:

ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا

Kemudian saya katakan: perkataan Al Mushannif (penyusun kitab Kifayatutj Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam)

B. Kelompok yang Memakruhkan

Kelompok ini adalah kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَاخْتَلَفُوا فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ

Mereka berbeda pendapat dalam hal memanjangkannya sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa kebutuhan: madzhab jumhur (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh tanzih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)

Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim. Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.

Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi Rahimahumallah

Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:

وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ

“Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalam kitab lainnya:

وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى

Berkata An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong). Selesai.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi juga membuat bab khusus (yakni Bab ke 119) tentang masalah ini berjudul:

باب صفة طول القميص والكُم والإزار وطرف العمامة وتحريم إسبال شيء من ذلك على سبيل الخيلاء
وكراهته من غير خيلاء

“Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan haramnya isbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong, dan makruh jika tidak sombong.” (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah

Dalam kitab Sunan-nya Beliau menulis Bab: Maa Ja’a fi Karahiyati jaaril Izaar (Bab Tentang riwayat dimakruhkannya menjulurkan kain sarung)
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah

Beliau berkata –sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar- sebagai berikut:

قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا يَلْحَقهُ الْوَعِيد ، إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال .

Ibnu Abdil Barr berkata: “Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala keadaan.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikr. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114)

Imam Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah

Beliau berkata:

قَالَ الْقَاضِي : قَالَ الْعُلَمَاء : وَبِالْجُمْلَةِ يُكْرَه كُلّ مَا زَادَ عَلَى الْحَاجَة وَالْمُعْتَاد فِي اللِّبَاس مِنْ الطُّول وَالسَّعَة . وَاللَّهُ أَعْلَم .

Berkata para ulama: “Secara global (umumnya) dimakruhkan setiap hal yang melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa panjangnya dan lebarnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168)

Imam Az Zarqani menyebutkan:

وَفِي الْمَوَاهِبِ : مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ ، مَا لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ . وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنِ الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ لِمِثْل لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ

Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan dengan cara sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Ala Al Muwaththa, 1/273)

Jadi, makruhnya itu adalah jika ‘lebih’ dan ‘tambahan’ itu diluar kebiasaan yang terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim, umat Islam terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika melewati kebiasaan itu.

Namun ada pula yang mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah kebiasaan yang terjadi masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,bukan selainnya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah

Beliau berkata:

وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ

“Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 21)

Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah

Beliau berkata ketika menjelaskan makna hadits, “tidak ada hak bagi kain terhadap dua mata kaki”:

أَيْ لَا تَسْتُر الْكَعْبَيْنِ بِالْإِزَارِ وَالظَّاهِر أَنَّ هَذَا هُوَ التَّحْدِيد وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هَذَا خُيَلَاء نَعَمْ إِذَا اِنْضَمَّ أَسْفَل عَنْ هَذَا الْمَوْضِع بِالْخُيَلَاءِ اِشْتَدَّ الْأَمْر وَبِدُونِهِ الْأَمْر أَخَفّ .

“Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan zahirnya kalimat ini merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak sombong. Ya, jika sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong maka perintah menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka perintahnya lebih ringan.” (Imam Abul Hasan as Sindi, Syarh Sunan An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab Maudhi’ al Izar, Juz. 7, Hal. 68, No hadits. 5234. Lihat juga Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, Kitab Al Libas bab Maudhi’ al Izar Aina Huwa, Juz. 6, Hal. 493, No hadits. 3562.)

Dalam Fatawa Al Hindiyah tertulis:

إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ ، كَذَا فِي الْغَرَائِبِ .

“Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong, maka hukumnya makruh tanzih demikian di sebut dalam Al Gharaib.” (Fatawa Al Hindiyah, Juz. 43, Hal. 183)

Memanjangkan pakain pada shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan menyentuh tanah adalah makruh menurut mayoritas ulama. Tersebut dalam Al Mausu’ah:

فَإِسْدَال الثَّوْبِ فِي الصَّلاَةِ - بِمَعْنَى إِرْسَالِهِ مِنْ غَيْرِ لُبْسٍ - مَكْرُوهٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مُطْلَقًا ، سَوَاءٌ أَكَانَ لِلْخُيَلاَءِ ، أَمْ لِغَيْرِهَا

Maka, menjulurkan pakaian dalam shalat –dengan makna dijulurkan begitu saja tanpa dipakai- adalah makruh menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama saja baik yang dengan sombong atau tidak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 3/144)

Ada pun memanjangkan izar (kain) dengan sombong maka itu haram, mereka membedakan hukumnya dengan memanjangkan tsaub (pakaian). (Ibid) 

Bersambung...

0 comments:

Post a Comment